EKOSISTEM MANGROVE
Definisi
Hutan mangrove merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove
yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (
Efendy, 2009).
Mangrove
merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai,
dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan
demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan
lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang
ekstensif dan produktif. Karena
hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan
pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam
bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove
yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk
tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah
ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki
karakteristik hidup di daerah pantai(Anonim2,
2011).
Zonasi
mangrove
Menurut Mamung (2008) Pembagian zonasi kawasan
mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan
salinitas meliputi :
1. Zona garis pantai (Proksimal), yaitu
kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75
meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R.
mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.
Zona tengah (Middle), merupakan kawasan
yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya
ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera
cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal,
Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3. Zona belakang (Distal), yaitu
kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul
antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A.
speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris,
Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia,
Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi
dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus
tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia
pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.
Hutan
mangrove juga dapat dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis
vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.
Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan
langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan
kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan
yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta
mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya
masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada
zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.
Zona Bruguiera, terletak di balakang
zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya
terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
4.
Zona Nypa, merupakan zona yang
paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
Luas dan Penyebaran Mangrove
Indonesia adalah negara yang
mempunyai ekosistem hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8
juta ha, diikuti Brazil, Australia, Nigeria dan Mexico. Indonesia memiliki
sekitar 40 % dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75
% berada di Papua (http:/ferthobhades.wordpress.com). Selanjutnya, Nontji
(1993) dalam Giesen et al. (2007), mengatakan daerah yang luas akan
hutan mangrove diantaranya terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir
Kalimantan, dan pesisir selatan Irian Jaya. Tahun 1980 jumlah hutan mangrove di
Indonesia sekitar 4,25 juta ha, tetapi pada tahun 2000 telah mengalami
penurunan menjadi 3 juta ha (Anonim1,
2011).
Menurut
depatemen kehutanan (2011) penyebaran beberapa spesies mangrove terdapat di
sekitar ekuator antara 32 o LU dan 38 o LS, semakin jauh
dari ekuator spesies mangrove semakin sedikit dan pohonnya semakin kecil.
Lokasi mangrove paling utara adalah di bagian tenggara pulau Kyushu, Jepang,
dimana hanya ditemukan satu spesies saja (Kandelia candel), sedangkan
lokasi paling selatan adalah bagian utara Selandia Baru dimana hanya
teridentifikasi satu spesies yaitu Avicenia marina.
Menurut
Chapman (1975) penyebaran mangrove dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a.
The old worl
mangrove, yang meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia
Tenggara, Jepang, Filipina, Australia, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik dan
Samoa.
b. The new world mangrove, yang
meliputi pantai Atlantik dan Afrika dan Amerika, Meksiko dan Pasifik Amerika
dan Kepulauan Galapagos.
Di Indonesia
diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati (true
mangrove) dan mangrove ikutan (asociate) (M. Khazali, dkk. 1999).
Fungsi dan Manfaat
Mangrove
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2008),
ekosistem mangrove memiliki banyak nilai dan manfaat. Diantaranya, mangrove
berfungsi sebagai pelindung pantai mengingat sistem perakarannya yang dapat
meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Dalam beberapa kasus, penggunaan
vegetasi mangrove untuk penahan erosi
lebih
murah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatkan
kualitas perairan di sekitarnya, dimana hal ini tidak bisa diperoleh dari penggunaan
struktur bangunan keras.
Mangrove
dapat juga berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan badai dan angin
Kemudian pemanfaatan lainnya adalah pemanfaatan mangrove sebagai pengendali
pencemaran,
karena mengrove memiliki sifat mengendapkan polutan yang melaluinya. Sebagai
contoh adalah penggunaan mangrove untuk mengendapkan limbah tailing di
Teluk Bintuni - Papua Selatan yang berasal dari sisa pertambangan emas daerah
dulu. Peran
lainnya adalah pemanfaatan mangrove untuk menahan intrusi air laut, fungsi ini
sama dengan fungsi hutan yaitu menyimpan air tanah. Kemampuan ini telah
terbukti dari lahan yang mangrovenya terjaga dengan baik, kondisi air tanah
tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada lahan mangrove yang telah
dikonversi untuk keperluan lain, kondisi air tanah telah mengalami intrusi oleh
air laut (Anonim3,2011).
Dalam Kamal (2006) Hutan
magrove suatu ekosistem yang unik dan mempunyai 3 fungsi pokok yaitu :
·
Fungsi fisik, yaitu menjaga garis pantai agar tetap
stabil,melindungi pantai dari gempuran ombak dan abrasi,menjadi wilayah
penyangga terhadap rembesan air laut (instrusi) dan sebagai filter pencemaran yang masukke laut.
·
Fungsi biologis, yaitu sebagai daerah asuhan dan sebagai
tempat pemijahan bagi ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota perairan laut
lainnya, tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi serta tempat habitat alami
berbagai jenis biota flora dan fauna lainnya seperti serangga.
·
Fungsi Ekonomis, yaitu sebagai bahan bakar seperti arang dan
kayu bakar, bahan bangun ( balok, atap rumah, dan tikar),perikanan, pertanian,
tekstil (serat sintetis), makanan, obat-obatan, minuman beralkohol, bahan
mentah kertas bahan pembuat kapal dan lainnya.
Permasalahan
dan Strategi Pengolaan Mangrove
Saat ini hutan
mangrove telah mengalami degradasi dimana luasnya telah berkurang sehingga
banyaknya daerah pantai yang mengalami abrasi. Penyebab kerusakan tersebut
diakibatkan oleh adanya konflik kepemilikan lahan, konversi lahan hutan
mangrove menjadi lahan pertanian/pemukimaan/budidaya/tambak, perkembangan
teknologi yang membuat lahan mangrove menjadi lahan industri, pemanfaatan kayu.
Faktor Penyebab Rusaknya Hutan mangrove
1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol,
karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2. Konversi hutan mangrove untuk
berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata
dll.) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan
sekitar.
Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
1. Instrusi air laut adalah masuknya
atau merembesnya air laut kea rah daratan sampai mengakibatkan air tawar
sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999).
Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar
intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar
tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai
Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
2.Turunnya kemampuan ekosistem
mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll
3.Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah
pesisir
4.Peningkatan abrasi pantai
5.Turunnya sumber makanan, tempat
pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun.
6.Turunnya kemampuan ekosistem dalam
menahan tiupan angin, gelombang air laut dlll.
7.Peningkatan pencemaran pantai
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan
melestarikan hutan mangrove antara lain:
Departemen
Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan
hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan
yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasional
terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah
sebagai berikut : (Anonim4,
2011)
1. Pengelolaan
Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2).
Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki,
pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan
rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan
hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara
teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan
menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan
mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah
pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur
sosialnya.
Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan
mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan
negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya,
Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain
teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur)
yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
2.
Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah
Propinsi, maka kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan
(termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi
hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma
dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan
pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada
hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh
pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawsan hutan
konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat).
3.
Konservasi
dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
Dalam
program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan
sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang
ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil
inisiatif.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah disebutkan bahwa penggunaan dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan
kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi-penghijauan dan sebesar 60%
dikelola Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana
Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk
rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk
untuk rehabilitasi hutan mangrove.
Hingga saat
ini Departemen Kehutanan telah mengkoordinasi dengan Departemen Keuangan,
Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan
penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.
4.
Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan
Mangrove
Di dalam
menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen
Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu
Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan
rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah
Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan).
Sedangkan
untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi
mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove
(Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara)
yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan
sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi
Mangrove di Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai –
Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat –
Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Adapun untuk
mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, Pemerintah
(pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di
dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi
hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan
Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Strategi
yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan
mangrove:
1. Sosialisasi
fungsi hutan mangrove
2. Rehabilitasi
dan konservasi
3. Penggalangan
dana dari berbagai sumber.
Secara teknis sebaiknya dilakuakn
hal-hal sebagai berikut :
1.
Penanaman kembali mangrove. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan
masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan
pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model
ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya
peluang kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2. Pengaturan kembali tata ruang
wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi
kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme)
berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran
masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya
memperhatikan aspek konservasi.
5. Peningkatan pengetahuan dan
penerapan kearifan local tentang konservasi
6. Peningkatan pendapatan masyarakat
pesisir
7. Program komunikasi konservasi hutan
mangrove
8. Penegakan hukum
9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir
secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem
wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan yang kemudian dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu juga mengandung
pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem
dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung
program ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim4.
2011. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia [Serial Online].
Dewi, meita.
2011. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya [Serial Online].
Efendy, Eko.
2009. Ekosistem Mangrove [Serial Onlie].
MOHON KRITIK DAN SARANNYA YA KAWAND
BalasHapus